Benediktus Andries
Benediktus Andries bekerja di Timika merupakan panggilan hidupnya. Jauh
dari rumahnya yang ada di Ibu Kota Jakarta, dokter muda ini punya tujuan
mulia mengabdi di Tanah Papua.
Pria yang akrab disapa Andries
tersebut bekerja sebagai peneliti di Pusat Penelitian Malaria Timika di
Kabupaten Mimika, Papua. Pusat penelitian tersebut adalah kerja sama
antara Rumah Sakit Mitra Masyarakat (RSMM) Timika dengan Yayasan
Pengembangan Kesehatan dan Masyarakat Papua (YPMKP).
Sebelum
bergabung dengan YPMKP, Andries terlebih dahulu bekerja sebagai dokter
umum di RSMM. Kondisi Timika yang tinggi angka malarianya menjadi
perhatian pria asal Bogor itu. Sempat mengikuti program internship di
Pulau Sumbawa, NTB, Andries memang memilih ingin memberdayakan
kemampuannya untuk masyarakat di daerah yang masih kekurangan mendapat
pelayanan medis.
"Setelah selesai internship langsung ke Timika.
Awalnya kontrak dengan RSMM, lalu diangkat jadi karyawan tetap. Saya
resign lalu pindah ke yayasan untuk penelitian itu," ungkap Andries.
Hal
tersebut disampaikannya saat detikcom berkunjung ke Malaria Research
Facility yang berada satu kompleks dengan RSMM Timika pada Sabtu
(18/6/2016). Di usianya yang masih 27 tahun, Andries sudah memilih
melanglang keluar dari megahnya Jakarta.
Beruntung, orangtuanya memberi restu dan tidak mempersoalkan keinginan
anak bungsunya itu untuk pergi jauh dari rumah demi memberikan
pelayanannya bagi masyarakat Papua. Harapan Andries bekerja dalam
penelitian adalah untuk membantu membebaskan Papua dari malaria. Papua
merupakan wilayah dengan tingkat malaria tertinggi di Indonesia.
"Orangtua
nggak ada masalah, apa pun yang saya mau untuk menggunakan ilmu saya
kepada orang-orang mereka support. Saya ingin melalui penelitian ini,
goalnya Timika bebas dari Malaria. Papua bebas dari Malaria, dan
harapannya adalah se-Indonesia bebas malaria. Tapi segala sesuatu harus
dimulai dari hal paling terkecil dulu kan?" ujarnya.
Meski Kota
Timika sudah cukup ramai, namun daerah tersebut merupakan salah satu
lokasi tempat sering terjadinya konflik. Beberapa tantangan lain juga
ada. Namun itu tak menjadi hambatan bagi Andries untuk bekerja.
"Medan
di Timika memang nggak gitu mudah, image di Ibu Kota kan di sini sudah
jauh, aksesnya susah, tantangan besar, fasilitas nggak secanggih daerah
kota, hiburan apalagi, sering terjadi perang pula. Soal keamanan nggak
ada yang bisa jamin sepenuhnya," ucap lulusan Universitas Atma Jaya
Jakarta itu.
Meski begitu, Andries mengaku tidak takut dan
memilih untuk mendengar kata hatinya dibanding ketakutan pada tantangan
yang ada. Ia menegaskan biarpun Papua jauh, tapi tetap masih bagian
Indonesia dan seharusnya tidak dibeda-bedakan dengan daerah lainnya.
"Saya
nggak takut, kalau umur sudah ada yang atur. Buat saya, saya menjunjung
tinggi profesi. Dokter itu melayani dan bekerja untuk kepentingan
masyarakat. Nggak semua orang bisa menjadi dokter. Saat sudah menjadi
dokter, harapannya kita bisa mengaplikasikan apa yang kita miliki untuk
masyarakat," tutur Andries.
"Orang banyak yang anggap Papua jauh banget. Papua itu tetap Indonesia.
Justru itu mereka, masyarakatnya, butuh kita. Jangan mikir yang
jauh-jauh dulu, mungkin yang buat kita kecil, di sini itu buat mereka
artinya bisa sangat besar," lanjut dia.
Hal tersebut dirasa perlu
disampaikan karena ada kesenjangan dalam penempatan tenaga medis di
Papua. Padahal masyarakat di Bumi Cenderawasih tersebut rentan dengan
penyakit dan perlu mendapat banyak bantuan namun yang didapat tidaklah
banyak.
"Papua cukup terkenal dengan masalah kesehatan, butuh
banget tenaga kesehatan, dan nggak banyak yang mau datang. Saya
sampaikan ini agar teman-teman untuk lebih berani lagi dan jangan pernah
takut keluar dari zona nyaman," kata Andries.
Ini bukan hanya
semata menjadi sebuah teori bagi pria kelahiran 30 Agustus 1988 itu.
Sebab Andries pernah mendapat sedikit kekerasan ketika bekerja dari
salah seorang warga Timika ketia ia sedang berusaha mengobatinya. Tapi
itu tak memupuskan niatnya untuk terus mengabdikan tenaga dan pikirannya
di Papua.
"Saya pernah dapat kekerasan fisik dari masyarakat
asli. Saya pernah ditinju di kepala saya, ketika lagi proses pelayanan.
Mungkin karena ramai jadi ada kesalahpahaman. Orang sedang tidak sehat
dan tidak fit. Jadi dia nggak bisa optimal untuk mikir mana yang salah
dan mana yangg benar," kisahnya.
"Balik
lagi karena mereka nggak ngerti. Pola pikirnya agak berbeda, tapi tidak
semua. Tapi dengan seperti ini, justru kehadiran kita diperlukan.
Siapapun yang mau terlatih dan ditempa lebih baik harus mau datang ke
tempat yang paling susah dulu," sambung Andries.
Selama bekerja
di Papua, banyak hikmah yang ia petik selama ini. Tak sedikit hal-hal
positif yang ia temukan dan semakin bertambah setiap waktunya. Pelajaran
yang dinilai Andries sangat berharga tersebut belum tentu didapatnya
jika bekerja di kota metropolitan.
"Kadang mereka bisa ngomong
yang nggak enak, tapi itu untuk melatih kesabaran. Kalau mau diambil
positif, banyak yang bisa dipelajari. Dari masyarakat asli, banyak yang
nggak beruntung untuk bisa jadi dokter," sebutnya.
Bukan hanya
dari sisi pendidikan saja, dari segi pelayanan kesehatan di Papua
dibandingkan dengan kota-kota besar, sangat terlihat perbedaannya.
Termasuk ketersediaan petugas medis sebab lebih banyak yang memilih
untuk bekerja di kota-kota besar, terutama di Pulau Jawa.
"Kalau
di kota besar kita berlomba-lomba meningkatkan kualitas hidup, dengan
berbagai fasilitas, untuk melengkapi kehidupan, menambah hal-hal
tersier. Kalau di sini, buat mereka untuk hidup tanpa penyakit dan tidak
kurang gizi saja, itu sudah nggak mudah," terang Andries.
Sumber : Detik.com
Maka Tidak salah jika dikatakan bahwa dia adalah orang yang cocok dijadikan sebagai seseorang yang menginspirasi.